Monthly Archives: February 2009

Ski Lagi… Ski Lagi…

Sesuai dengan postingan sebelumnya, sepanjang musim dingin berbagai aktivitas di alam terbuka menjadi agenda rutin. Meskipun tinggal di kota ‘besar’ seperti Oslo, akses ke lokasi ber-ski, aking (sledging), ice skating, ice-hockey dan semacamnya bukanlah persoalan dan dapat ditempuh dalam beberapa menit dengan mobil, trem atau kereta.

jalur menuju pegunungan dipadati…arus berangkat …dan arus balik

Di akhir pekan, jalur perjalanan menuju daerah pegunungan biasanya akan dipadati oleh arus berangkat kendaraan (Jumat sore) dan arus balik (Minggu malam) ke/dari kabin keluarga atau ski resort di luar kota. Hal ini mengingatkan pada daerah Puncak di Jawa Barat yang mengalami kemacetan serupa di akhir pekan.Foto: Kabin yang berselimut salju


‘Ski tur’ bisa menempuh jarak pendek antara 5-15 km hingga jarak jauh (lebih dari 20 km) yang memakan waktu satu jam hingga sehari penuh. Continue reading

Belajar Bahasa Itu Harus Sabar! :D

Percakapan berikut terjadi di awal2x saya sedang belajar bahasa Norwegia (Norsk).

Murid Geblek Yang Lagi Belajar (MGYLB): “Tanya dong. Kalimat ‘Jeg vet ikke‘ (baca: ‘yai wet ike’ dengan huruf ‘e’ pada kata ‘ikke’ pepet seperti pada kata ‘kendi’, ‘beli’ atau ‘seri’) itu artinya apa sih?”

Orang Yang Ditanya (OYD):”Artinya saya nggak tahu…” *sambil sibuk baca buku*

MGYLB: “Loh kok nggak tau?… Tanya lagi nih, kurang jelas kali ya… ‘J-e-g… v-e-t… i-k-k-e’ dalam bahasa Norwegia itu terjemahannya apa?…”

OYD: “Saya nggak tau… Kok kamu tanya2x terus sih?!… ” *dengan nada sedikit tinggi dan merasa terganggu*

MGYLB:” Ya jelaslah nanya!… Saya kan nggak tahu… Kamu kan orang asli Norwegia, saya orang asing yang mau belajar bahasa kamu, tapi bukannya didukung kok malah disemprot gitu sih?!… ” *emosi*

OYD: “Kamu sendiri nggak kira2x. Coba bayangkan, ini hampir tengah malam dan saya lagi mencoba rileks baca buku, tiba2x ada orang bolak-balik menanyakan hal yang sama. Sudah dijawab masih juga ditanya…” *dengan nada tinggi*

MGYLB: “Sudah dijawab?… Dijawab dari Hongkong!… Dari tadi saya tanya ‘Jeg vet ikke’ itu artinya apa?… Kamu malah bilang nggak tahu terus… bikin saya merasa dicuekin, dilecehkan, nggak dianggep… Emang enak… Bagaimana sih… nggak ada support buat belajar sama sekali!!!” *berteriak*

OYD (tertawa):”HAHAHAHAHAHA…...”

MGYLB: “Lha, orang lagi marah kok malah diketawain?… Saya serius… amat sangat serius!!!…”

OYD: “Ah, dasar kamu murid geblek!…Sudah dikasih tahu masih juga ngotot. Makanya kalau belajar tuh lihat2x waktu dan kira2x kalau nanya, jangan emosi duluan. Saya bilang nggak tahu karena ‘Jeg vet ikke’ dalam bahasa Norwegia memang artinya ‘Saya tidak tahu’…”

MGYLB: “Oooo… artinya ‘saya tidak tahu’….Pantesss. Maaf ya sudah ngomel2x… Kayaknya saya murid yang lebih galak dari gurunya deh” *cari ikon pentungan*

Moral of the story:

Ingat, sebagai murid itu:

1. Dilarang galak! (kalau diberi palang ‘Awas, Murid Galak!‘ bisa menjadi saingan anjing galak dong, duh nggak banget deh.)

2. Dilarang geblek! (kasian gurunya, kalo ditanya orang: “Ini murid satu geblek banget. Siapa sih gurunya?… Pasti lebih geblek lagi”… Nah loh)

3. Simak kata2x si guru dengan seksama dan jangan bolak-balik menanyakan hal yang sama. Guru juga manusia, punya batas kesabaran (silakan dites kalau tidak percaya…)

4. Perhatikan ‘timing’ atau waktu saat mengajukan pertanyaan. Jangan bertanya saat yang ditanya sedang beristirahat, sibuk di toilet, tengah malam buta atau waktu2x tak lazim lainnya.

5. Teruslah berusaha belajar, jangan mudah menyerah. Ibarat bayi yang sedang belajar berjalan, harus dimulai dari merangkak, belajar berdiri, tertatih2x, berjalan dan berlari…(kecuali jika si bayi adalah bayi ajaib…)

6. Jangan lupa berterima-kasih pada guru yang sudah mengajar, jangan seperti murid yang lupa pada gurunya… (hmmm, pernah inget kata2x serupa dimana yak?… *garuk2x kepala*)

Buat yang penasaran, Si OYD adalah ‘T’, hubby yang aslinya penyabar tapi kadang2x jutek kalau diganggu saat sedang asyik membaca buku

Pro-Kontra tentang Tuhan

Disclaimer: Postingan kali ini adalah postingan serius… (resiko harap ditanggung masing2x ya :D…)

Saat berkunjung ke London, di sebuah kesempatan mata saya tertuju pada bus yang sedang melaju pelan. Kata2x yang tertulis di badan bus menarik mata ini (silakan lihat gambar di atas).

Dalam terjemahan bebas kalimat itu berbunyi: Mungkin Tuhan Itu Tidak Ada, Jadi Sekarang Berhentilah Kuatir dan Nikmati Hidupmu!

Hmmmm, sungguh kalimat yang pendek namun kontroversial. Beberapa hari kemudian, melalui siaran berita radio BBC yang saya dengar minggu lalu, diinformasikan bahwa jumlah mereka yang atheis atau tidak mempercayai Tuhan berbanding positif dengan tingkat kemakmuran suatu daerah. Semakin makmur suatu negara, semakin banyak orang yang tidak mempercayai Tuhan dan sebaliknya.

Saya pribadi bukan orang yang terlalu religius, namun saya akan selalu percaya bahwa Tuhan itu ada sampai ajal menjemput, apapun yang terjadi. Hal inilah yang sering menjadi bahan pertanyaan orang2x atheis yang saya temui. “Mengapa kamu percaya Tuhan?...” dan pertanyaan sejenis mulai dari nada sopan hingga menyudutkan.

Saya pun tak mau menghakimi mereka yang tak percaya Tuhan atau merasa diri paling benar. Who am I to judge?…

Saat iseng bertanya balik, “Bagaimana jika kamu nanti meninggal?… Dengan doa agama mana kamu ingin didoakan?”. Kebanyakan mereka menjawab tak butuh doa…, duh. *speechless*

Ini adalah fakta pahit hidup di kawasan yang kaya secara materi tetapi miskin nilai2x spiritual. Seorang pendeta mahasiswa saat di Den Haag pernah bercerita bahwa banyak gereja2x tutup karena kekurangan umat, sementara di Norwegia beberapa tahun lalu banyak gereja dibakar oleh mereka yang mengaku pemuja setan *berasa seperti di film2x horror*

Sang pendeta pun mengatakan tak jarang saat meninggal, jasad yang ada hanya dimasukan ke dalam peti dan dikubur di tanah, tanpa doa2x. Sementara lainnya, anggota keluarga si wafat seringkali menghubungi sang pendeta minta didoakan ala kadarnya, meski si wafat tak pernah muncul di gereja. Saya sendiri pernah menghadiri pemakaman semacam ini, tak ada kesan khusyuk atau spiritual sama sekali. Agama pun hanya menjadi tempelan atau dekorasi saja. Sedih.

Memang konsep kebebasan beragama pun masih menjadi bahan perdebatan. Kalangan atheis menganggap bebas beragama berarti pula bebas untuk tidak beragama. Keberadaan Tuhan pun masih menjadi pro dan kontra. Agama pun bagaikan pedang bermata dua, bisa menjadi sumber kebaikan dengan nilai2x spiritual yang mengajarkan damai dan cinta kasih, sekaligus disalahgunakan untuk memecah belah, apalagi jika dipolitisir sejumlah kalangan untuk kepentingan tertentu (cape deeeee…)

Buat saya, orang beragama atau tidak bukanlah jaminan bahwa ia memiliki ahlak baik. Hayooo, kira2x mana yang akan masuk surga… antara orang atheis yang berbuat baik, memiliki kepedulian sosial tinggi atau orang yang mengaku beragama namun bertindak angkara-murka?… *mengerutkan dahi*

Pengalaman bertemu banyak survivor tsunami dan konflik mengajarkan saya banyak hal tentang hidup. Banyak dari mereka berkata bahwa satu2xnya yang membuat mereka bertahan adalah iman dan keyakinan pada Yang Maha Kuasa… bahwa Tuhan akan memberi kekuatan. “Kami bisa gila jika tidak ada Tuhan. Kehilangan semua dalam sekejap… Habis semua hanya tinggal nyawa di badan ini…”.

Terenyuh hati saya mendengar jawaban jujur dari mulut mereka. Terima kasih, telah mengajarkan dan mengingatkan saya bahwa hidup hanya sementara, semua hanya titipan Yang Di Atas dan bisa diambil kapan saja.

Satu hal yang pasti, saya belajar bahwa saya butuh Tuhan, sebagai pegangan kala saya terhempas gelombang kehidupan, sebagai penuntun di kala badai, dan sebagai cahaya di tengah kegelapan… kapanpun dan dimanapun.