Mudik Nggak Niat……

felicitya

Saya beruntung memiliki pekerjaan yang memungkinkan untuk travelling ke tanah air setidaknya 3-4 kali setahun (yup bolak-balik mirip setrikaan dengan berbagai resikonya…) ke pelosok2x pedalaman Indonesia yang eksotik dengan pengalaman beragam mulai dari tinggal bersama penduduk desa dan berinteraksi dengan mereka, mendatangi lokasi perkebunan sawit (dengan diam2x :D… dan baru sadar setelah beberapa saat berkeliling bahwa di sana ternyata banyak ular kobra), bertemu dengan ibu2x pendulang emas yang tegar dan bersahaja, terjebak kabut di pedalaman Papua dan harus berjalan kaki 5 km untuk mendapat signal HP untuk meminta bantuan, dikejar2x orang utan di pedalaman Kalteng, sempat menjadi santapan lintah saat menyusuri hutan si pedalaman Sumatera dll.

Buat T (suami tercinta), merasakan bisa tinggal di desa dan di pedalaman adalah sesuatu yang unik. Karenanya atas seijin bos, saya berencana mengajak T untuk ikut ke lapangan saat saya melakukan kunjungan mendatang, yang setelahnya akan kami lanjutkan dengan acara liburan di lokasi lain. Tapi, saya lupa kalau ada beberapa hal yang mengganjal setiap kali mengajak T ke Indonesia.

Alasan2x yang membuat saya enggan pulang kampung bersama suami tadi adalah karena saya harus:

1. Siap2x jadi tukang foto

Pengalaman2x sebelumnya selalu menunjukkan bahwa setiap saya berjalan2x bersama T di tempat umum di Indonesia apalagi objek wisata yang lumayan populer…pasti ujung2xnya akan banyak orang (kebanyakan anak2x kecil dan remaja2x tanggung sampai kadang2x orang tua juga) yang ingin minta foto bersama T. Saya sih maklum saja, mungkin mereka2x tadi memang jarang bertemu bule dan ada rasa penasaran. Tapi permintaan2x tadi tak jarang menjadi ekstrim karena terus-menerus ada setiap kami melangkah beberapa meter dan kadang2x tidak sopan. Yang paling menyebalkan tanpa basa-basi mereka akan bilang…. “mbak…mbak….minggir dong!….kita mau foto sama om bule-nya…”   atau “mbak…ambilin foto dong, yang bagus ya!...…” sambil memberikan isyarat dengan tangan supaya saya menyingkir. Yaolohhhh…. *mengelus dada*

2. Siap2x jadi penterjemah dan guide

Buat saya, salah satu ‘cacat’ non bawaan dari T adalah ketidakmampuannya berbahasa Indonesia yang kadang membuat saya bete 🙂 Kebetean itu bertambah karena T sebetulnya jago berbicara 7 bahasa. Tapi…buat Bahasa Indonesia?…hohoho…. nyaris nol besar.  Sejauh ini T hanya hafal:

“Kopi satu tanpa gula” –> kalau sedang di kedai kopi.

“Terima kasih sekali” —> sambil tersenyum, menangkupkan kedua telapak tangan di dada dan membungkukan badan seperti hormat orang2x Jepang 🙂

“Itu tidak bagus!” —> biasanya diucapkan sambil mengangkat jari telunjuk ke arah depan dada dan digerakkan ke kiri dan ke kanan, kadang2x mulut sambil sedikit dimonyongkan dan sedikit variasi gelengan kepala atau suara berdecak: ” ckckckck…..”

Jus mangga tanpa gula” –> kalau sedang haus dan ingin minum jus

“Nggak kayak begituuu!…” –> diakhiri dengan nada sedikit tinggi di akhir kalimat dan terlontar kalau sedang protes atas sesuatu yang tidak sesuai keinginan

“Siap komandan!” –> yang diucapkan ke semua orang dari orang tua, tukang becak, tukang parkir sampai anak kecil 🙂

Jadi, buat urusan liburan ke Indonesia mau tidak mau saya bertanggung jawab mengurus teknis pelaksanaan dan printilan2x di lapangan yang memang hanya bisa dilakukan dalam Bahasa Indonesia seperti tawar-menawar harga (soalnya saya nggak jago nawar, dan suka nggak tegaan….jadi males duluan deh... 😀 )

3. Siap2x menghadapi tatapan2x aneh, bisikan2x dan celetukan orang iseng yang tidak bertanggung-jawab.

Entah kenapa kok di  jalan2x atau gang2x di Indonesia banyak orang yang kesannya tidak ada kerjaan, hanya duduk2x di jalan sambil merokok, bergerombol serta mengamati dan mengomentari orang lewat. Tidak jarang keluar celetukan2x usil yang bernada menghina dan merendahkan dari mulut mereka ke orang asing yang lewat tadi, khususnya ke perempuan.

Setiap saya berjalan sendiri (apalagi jika berdua T) melewati gerombolan orang2x yang duduk2x di pinggir jalan atau gang begini hati saya sudah harus bersiap2x menghadapi entah apa celetukan yang akan muncul berikut tatapan mata yang seakan2x menghakimi dan penuh dengan prasangka2x tertentu (lebayyy...).

4. Siap2x ditagih oleh2x atau suvenir

Saya sebetulnya termasuk orang yang malas beli2x suvenir. Jangankan buat orang lain, buat diri sendiri pun nyaris tidak pernah beli (selain magnet, kalau memang kebetulan lewat toko yang menjual). Tapi, kadang ada beberapa pengecualian misalnya dibela2xin deh membeli suvenir buat orang yang memang ingin saya beri (biasanya untuk mereka2x yang saya anggap ramah, baik budi, rendah hati dan tidak sombong 😀 ), juga tergantung mood dan kesempatan…

Yang paling menganggu adalah ‘tagihan’ suvenir dari orang yang sebelumnya nyaris tidak pernah menyapa saat bertemu di jalan atau dari teman yang tidak terlalu dekat menyeletuk: “Fel, mana oleh2xnya?… Kok saya nggak kebagian” atau “Saya mau dong coklatnya, dua-tiga bungkus lah… atau Saya minta parfum dong, yang masih ada bungkusnya ya...” dll… Duh, saya kesal sekali bertemu tipe orang2x tidak sopan begini, apa mereka tidak tahu bahwa harga coklat dan parfum itu di sini tidak murah? Prinsip saya memberikan sesuatu itu harus dengan ikhlas…. bukan karena dipaksa, diminta, merasa tidak enak dll..dll..moga2x saja mereka2x suatu saat bisa mengerti mengapa saya termasuk pilih2x untuk urusan yang satu ini.

5. Siap2x permintaan titipan

Pengalaman titip-menitip (seperti ini) membuat saya berhati2x dalam menerima titipan. Bukan apa2x, titipan buat saya itu adalah tanggung-jawab yang harus dijaga….Jangan sampai sudah janji ternyata kita tidak bisa menepatinya, nanti malah membuat orang kecewa.

Terakhir kali ke Indonesia bulan Maret lalu misalnya, beberapa staf organisasi lokal yang kami support bertanya2x tentang harga sepatu, harga wine dll…dll…di Norwegia dan menanyakan kapan saya akan ke Indonesia lagi. Sebelum mengarah lebih jauh biasanya saya akan bilang: Maaf, saya nggak terima titip-menitip barang ya….Memang kesannya ‘kejam’ dan tega ya….tapi kadang kita harus begitu supaya tidak makan hati.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman sebagai orang Indonesia karena banyak memakai perasaan dan tidak enak jika menolak dll…ujung2xnya si penitip misalnya hanya mengucapkan terima kasih setelah menerima titipan dan pura2x lupa mengganti harga barang jika tidak ditanya atau sekedar bertanya: “Berapa harganya?” untuk basa-basi saja. Seandainya mereka tahu bahwa mendapatkan barang titipan itu bukan hal yang mudah karena kita harus mengeluarkan waktu dan energi ekstra mencari barang tadi dan menyediakan space (tempat) ekstra untuk bagasi.

Suatu saat seorang ibu WNI yang tinggal di Oslo tahu bahwa saya akan ke tanah air dan bilang: Dek Feli, boleh nggak saya nitip barang?… Tapi satu koper ya...” Gubrakkk…(dalam hati): “Aduh ibu…dengan segala hormat…. kok ibu tega sih merepotkan saya?…. Ini nitip kok nggak kira2x..ya…” Saya waktu itu hanya menjawab sambil tersenyum saja dan beberapa hari kemudian berangkat ke Indonesia dengan diam2x 🙂

Jadi…. dari hal2x di atas… hingga detik ini saya masih belum 100% niat mau mudik. Moga2x mood positif segera berhembus… dan menghilangkan kekuatiran2x di atas tadi. Let’s see.

felicity-aa

 

42 thoughts on “Mudik Nggak Niat……

  1. arinidm

    Masalah titip-menitip itu kyknya harus ada simbiosis mutualismenya ya Mbak, klo mo nitip (banyak) harus siap dititip (banyak) jg, hehe. Nah jgn sampai giliran dia nitip byk kita oke, giliran kita mo nitip dikit dianya banyak alasannya. 🙄 Kalo orang tua saya itu Mbak anehnya malah tipikal yg asik-asik aja dititipin tiap pulang-pergi Kuwait, tapi kitanya sebagai anak jg yg kesel kalo ada yg nitip trus nggak nganterin ato ngirimin ke kita barangnya tp malah kita yg jemput. -_-” Kalo di kota kecil mungkin nggak mslh jg jemput kali ya, lah kalo di Jakarta? -_-” Dan teteup yaaa, walo harus gitu kondisinya jg org tua saya nggak mslh sama sekali, tetep asik2 aja. ❓ Tp klo saya sih, selagi orang tua saya yg mo jemput sendiri terserah aja, tp klo org tua saya yg nyuruh anaknya yg jemput itu bikin bete jg. 😆

    Reply
    1. Felicity Post author

      Hehe, susah juga kalau ortu terlau baik…. sepanjang nggak merepotkan anak2x sih ngga papa…. mungkin malah ortu kasih contoh supaya kita lebih peduli sama orang lain…. yang jelas saya mungkin ngga bisa sampe sebaik gitu deh, kapok 🙂

      Reply
  2. princeofborneo

    Saya pernah merasakan apa yang Mbak Feli rasakan. Paling malas kalau ada orang suka titip oleh-oleh atau pesan barang tanpa mengganti rugi. Btw, boleh tahu apa pekerjaan Mbak? Mohon maaf kalau pertanyaanku ini tidak sopan. Semangat selalu Mbak 🙂

    Reply

Leave a reply to Felicity Cancel reply