Monthly Archives: July 2008

Mohon Maaf

Mohon maaf, berhubung yang punya blog sedang liburan dan adanya keterbatasan koneksi internet, komentar yang ada baru akan direspon setelah kembali ke Oslo minggu depan. Salam 🙂

My Sailing Experience Day-1: Stavern – Nevlunghavn

Seperti direncanakan sebelumnya, acara sailing musim panas tahun ini akan menempuh rute ke arah selatan Norwegia yakni sepanjang Stavern, Kragerø , Lyngør, dan (mungkin) hingga Kristiansand dalam enam hari. Daerah pantai selatan ini membentuk zona transisi antara daerah hutan yang luas di Swedia, daerah pantai yang kaya dengan cahaya matahari dan daerah pegunungan serta ‘fjord’ (bagian dari laut yang masuk ke daratan) di sebelah barat.

Sebelumnya kami telah mempersiapkan beberapa hal seperti pakaian hangat, makanan dan lain2x. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, saya harus memastikan bahwa berbagai bumbu dapur dan sejenisnya tersedia. Alhasil, persediaan bumbu2x mulai dari cumin, corriander, jahe, kunyit, lengkuas, daun salam, sesame oil, kecap, oyster sauce sampai ulekan pun ada (hehe :D)

Hari pertama, saya dan T harus mengendarai mobil terlebih dahulu hingga Stavern, sekitar 3 jam perjalanan dari kota Oslo ke arah selatan untuk ’menjemput’ kapal yang sebelumnya dipakai ayah T dan seorang kerabat berlayar dari Sandvika, sedikit di luar Oslo hingga Stavern sejak seminggu sebelumnya.

Foto: Pasar terbuka di pusat kota

Stavern

Berlokasi di sebelah selatan Larvik, Stavern adalah kota yang paling hidup dibandingkan kota2x lain di sepanjang Brunnales Peninsula yang menjadi daerah tujuan wisatawan lokal saat musim panas. Jalanan dipenuhi dengan deretan kafe, dan galeri seni . Saat berkeliling hari ini, kebetulan sedang hari pasar. Di pusat kota, nampak kios2x dadakan yang menjual beraneka barang mulai dari piringan musik tua, barang2x antik, buku2x tua dan pernak-pernik lainnya. Usai makan siang dan melihat2x sebentar, saya dan T kembali ke kapal, sementara ayah T dan kerabat tadi kembali ke Oslo.

Kapal layar yang kami pakai, ’Pernille’ adalah sebuah kapal tua berukuran medium 29feet, dilengkapi 1 motor berkekuatan 10 horse power, panjang sekitar 10 meter, buatan Swedia tahun 1987 dengan dua layar dengan ketinggian 11 meter, memiliki dapur kecil, VHF radio, GPS, kemudi auto pilot, pendingin , ruang duduk, dua ruang tidur dan toilet di bagian dalam. Meski sudah berumur 21 tahun, kapal ini termasuk tahan uji dan telah dipakai berlayar hingga ke Swedia dan Denmark menempuh berbagai cuaca, mulai dari cerah, berangin, berawan, hingga badai:)

Foto: Barang2x antik di ‘hari pasar’ Stavern

Pelabuhan Stavern, Fredriksvern Verft telah ada sejak pertengahan abad ke-18 . Lokasi yang kini dipenuhi oleh blok2x perumahan sebelumnya pernah menjadi bagian dari benteng pertahanan. Saat keluar dari pelabuhan, nampak beberapa bangunan unik yang menjadi tempat berkumpulnya komunitas seniman dan artis.

Foto: Suasana di Pelabuhan Stavern

Sebelum meninggalkan Stavern, tak lupa kami mengisi kembali persediaan air bersih untuk toilet dan dapur di kran2x air yang tersedia di sepanjang pelabuhan. Tak lupa mengisi bahan bakar untuk kapal di gas station yang ada di pinggir pelabuhan . T harus membayar 388 NOK (1 NOK (Norwegian Kronor) sekitar Rp.1800.-) untuk 30 liter diesel (full tank kapal: 40 L).

Foto: Pom bensin dan diesel untuk kapal

Satu setengah jam setelah meninggalkan Stavern, kami memakai satu layar, namun sayang tidak cukup banyak angin, terpaksa motor pun tetap dipakai dengan kecepatan sekitar 4,7 knot. Meski ketinggian ombak hanya sekitar 0,5-1 meter saja, namun hempasannya terasa cukup kuat. Maklum saja, rute yang kami lalui berada di laut terbuka yang terhubung dengan perairan Denmark dan berada cukup jauh di luar Oslo Fjord (perairan tertutup).

Foto: Pemandangan di luar pelabuhan

Nevlunghavn

Tiba di Nevlunghavn sekitar jam 6 sore, sayang sekali pelabuhan kecil ini penuh sesak oleh kapal2x besar dan kecil. Setelah mencoba mencari tempat bersandar tanpa hasil, kami pun melepas jangkar agak keluar dari pelabuhan. Nampak sejumlah kapal lain yang tidak mendapat tempat juga ‘parkir’ di luar pelabuhan.
Beragam aktivitas pun nampak di sekitar kami. Mulai dari kapal2x motor kecil yang simpang-siur, orang yang sibuk paddling, mandi matahari di pantai, berenang, duduk2x melihat matahari terbenam hingga yang hanya melihat2x dan mengamati keadaan sekitar (seperti saya :D)

Foto: ‘Pintu’ keluar-masuk Nevlunghavn

Suasana matahari terbenam di Nevlunghavn begitu indah dan mempesona. Tenang dan damai, siluet warna langit yang biru bersaput warna lila dan merah muda nampak terpancar di perairan. Sekilas, pemandangan ini mengingatkan saya pada lukisan karya John Miller –salah satu pelukis favorit selain Claude Monet–yang dikenal dengan ikon ’serendipity’-nya.

Foto: Senja di pelabuhan

Kota2x pelabuhan di Norwegia pada musim panas umumnya mempunyai acara khusus untuk menarik minat pengunjung seperti pertunjukan kabaret, teater lokal, festival musik, pameran seni dan sejenisnya. Dari arah pelabuhan tak jauh dari tempat kapal melepas jangkar, terdengar suara alunan musik country yang membawakan lagu2x seperti karya Kenny Rogers. Sayang kami tak bisa mendapat ’tempat parkir’ di dalam pelabuhan dan harus puas menikmati musik dari kejauhan saja. Suara musik baru berakhir pada jam 12 malam.

Foto: Rumah dari kayu timber putih, ciri khas rumah2x di sepanjang pantai selatan Norwegia

Berdasarkan pengamatan, anak2x di Norwegia sudah diperkenalkan untuk bermain di air (danau atau laut) sejak mereka balita. Bukan hal yang aneh jika melihat anak berumur 8-10 tahun seorang diri atau berdua menaiki perahu motor kecil tanpa rasa takut, terkadang orang tua mereka mengikuti dari belakang. Namun seringkali saya tidak melihat ada orang tua yang mengawasi dengan ketat. Yang pasti, jaket pelampung memang selalu terpasang untuk anak2x meski hanya berjalan2x di sekitar kapal atau pelabuhan.

Foto: Bermain di air

Kadang saya membayangkan situasi anak2x Indonesia, khususnya yang ada di kota besar seperti Jakarta. Akses ke alam bebas mungkin tak selalu mudah. Memasuki kolam renang, harus bayar. Mau masuk ke pantai yang layak, harus beli tiket masuk. Mau hiburan yang sedikit berbeda seperti Dunia Fantasi pun harus merogoh kocek yang tak sedikit. Mau ke taman kota, kebun raya, taman bunga harus bisa keluar modal untuk ongkos angkutan bagi yang tak punya kendaraan pribadi, belum lagi macet dan stress di jalan. Tak heran, mall2x pun kian menjamur dan menjadi sarana ’hiburan’ yang praktis dan murah apalagi sejak ruang publik yang tersedia untuk bermain kian terbatas berganti semen dan beton…

Dan malam pun semakin larut. Hanya terdengar suara deburan ombak yang memecah kapal, ’krenyat-krenyut’ suara badan kapal yang sebagian terbuat dari kayu mengapung di atas air, suara balon pelampung di sisi kapal kala ombak datang, suara mesin pendingin yang sesekali sibuk bekerja. Satu-dua kali juga terdengar suara mesin kapal motor di kejauhan, dan…suara apa lagi yah ini…serangga? Kok di laut…. Jangkrik?…Apa ada binatang bernama jangkrik di sini? Kok suaranya nyaris tak terdengar? Nyamuk barangkali?… Oooo, …ternyata ini suara baterai laptop saya yang tinggal setengah penuh. Waktunya untuk tidur, sebelum memulai perjalanan lagi esok hari. Selamat malam…

Navlunghavn, South Coast, 00.27 AM

Berlanjut ke: My Sailing Experience, Day 2: Nevlunghavn-Kragerø

Nyaris Terlantar di Negeri Orang

Awal Maret 2008 lalu, saya dan T berkesempatan untuk mengunjungi Kiel di Jerman dengan kapal pesiar yang berangkat dari pelabuhan Oslo. Kegiatan ini adalah acara jalan2x tahunan seluruh staff dan keluarga di perusahaan tempat T bekerja. Entah mengapa kali ini kapal pesiar menjadi pilihan dan…meski judul resmi acara ini adalah liburan, di sela2x waktu perjalanan masih saja ada beberapa rapat yang membahas tentang pekerjaan.

Kapal yang kami tumpangi bernama ‘Color Magic’ salah satu dari beberapa kapal lain yang dimiliki oleh grup perusahaan jasa angkutan ferry dan kapal pesiar ‘Color Line’ yang memiliki 3500 orang staff. Kapal2x lain yang mereka miliki antara lain ‘Color Viking’, ‘Color Fantasy’, ‘Christian IV’, ‘Peter Wesssel’, ‘Prinsesse Ragnhild’ dan lainnya yang menangani rute dalam Norwegia maupun perjalanan ke Denmark, Jerman dan Swedia.


Kami berangkat dari pelabuhan Oslo hari Sabtu pagi dan tiba di pelabuhan Kiel, Jerman pada jam 11 siang (sedikit terlambat) keesokan harinya. Ada satu hal yang tidak saya mengerti dan membuat enggan ikut perjalanan ini, yakni: waktu perjalanan yang 15 jam lamanya ternyata jauh lebih lama dari waktu kapal bersandar yang hanya 2 jam di pelabuhan Kiel. Jadi ‘what’s the point?’ gitu lohhh…Jauh2x menempuh perjalanan tetapi tidak ada banyak waktu untuk menikmati kota tujuan.

Mungkin paket seperti ini adalah strategi pihak perusahaan agar pengunjung menghabiskan uang mereka di berbagai kegiatan di dalam kapal. Meski untuk menggunakan sejumlah fasilitas resmi digratiskan, namun untuk makan-minum tambahan tetap harus membayar extra. Godaan untuk shopping di atas kapal pun besar karena rasa bosan yang mungkin muncul. Pilihan aktivitas lain mungkin keliling2x kapal (yang lebih dari 12 lantai), jalan2x di atas dek atau menikmati pemandangan.

Pertama kali memasuki kapal, saya yang sebelumnya tidak pernah naik kapal pesiar langsung terkesima. Para penumpang yang ribuan jumlahnya disambut oleh staff yang ramah serta ‘live music’ yang memainkan irama samba. Sempat juga terbersit pikiran yang menganalogikan kapal ini seperti sebuah mall terapung. Betapa tidak, jejeran butik2x terkenal, toko, restoran, cafe dan sejenisnya memenuhi hall utama. Di lantai lain pertunjukan teater berlangsung setiap malam, lantai diskotik dan jazz club juga berdentam-dentam hingga jam dua pagi. Beberapa fasilitas lain juga memanjakan penumpang. Makanan dan minuman yang disajikan di restoran resmi yang termasuk dalam harga tiket (untuk sarapan, makan siang dan makan malam) pun sangat lezat dan menggugah selera.

Dalam perjalanan, sempat juga terasa goncangan yang terkadang terasa tidak nyaman. Seorang rekan yang pernah berlayar dengan kapal yang sama menyatakan bahwa lantai 12 ke atas sempat ditutup untuk umum ketika badai besar terjadi dalam perjalanan dua bulan sebelumnya.

Setibanya di Kiel-Jerman, saya mendengar pengumuman lewat radio (dalam bahasa Norwegia, Jerman dan Inggris yang tidak terlalu jelas) bahwa kapal akan bersandar untuk beberapa jam. Semua penumpang yang akan kembali ke Oslo pada hari yang sama harus sudah ada di atas kapal kembali pukul 14.15 siang. Entah bagaimana, kami tidak mengecek lagi untuk memastikan waktu keberangkatan, dan ini adalah sebuah kesalahan besar.

Waktu dua jam tidak menyisakan banyak pilihan. Saya dan T hanya berjalan keliling pusat kota Kiel, melihat2x bangunan tua, taman kota, dan museum seni. Kota yang kecil ini tidak beda dengan kota2x di belahan Eropa Barat lainnya (menurut saya loh). Bangunan tua, gereja yang berumur ratusan tahun, deretan apartemen, centrum yang dipenuhi toko beraneka macam dan rupa, ruang publik terbuka untuk anak, taman nan hijau yang asri di tengah kota. Yang sedikit berbeda mungkin jejeran klub malam, tari telanjang dan ‘adult show’ yang seperti diekspos berjejer di sepanjang jalan menuju pelabuhan utama.

Di museum seni Kiel, nampak koleksi lukisan karya pelukis dari Jerman, Norwegia dan Russia. Ada juga eksibisi patung2x mitologi Yunani dan pameran seni instalasi yang unik. Sayang, waktu yang terbatas tidak memberikan kesempatan untuk mendalami isi pameran lebih lanjut. Semua terkesan terburu2x dan tergesa2x, bahkan untuk mengambil foto2x. 😦

Jam 12.30 siang: memperhitungkan perjalanan kembali yang sekitar 30 menit jalan kaki, plus waktu makan siang telah tiba, kami memutuskan untuk mencari tempat makan yang tak jauh dari pelabuhan.

Jam 13.00 siang: Tak jauh dari pelabuhan, T mengusulkan untuk mencari tempat makan di daerah Centrum, kami berkeliling tanpa hasil karena T yang ‘picky’ (suka pilih2x) tidak menemukan tempat yang sreg untuk makan (plissss dehhhh…., padahal perut ini sudah berteriak dan bernyanyi2x)

Jam 13.15 siang: Setelah berkeliling tanpa hasil, kami pun memutuskan kembali ke pelabuhan. Kapal masih nampak bersandar. Orang2x terlihat bergegas menuju kapal. Saya dan T merasa lega, setidaknya lokasi yang tidak terlalu jauh ini (hanya lima menit jalan) membuat kami bisa memantau keberadaan kapal setiap saat, memastikan bahwa kapal tidak akan pergi tanpa kami berdua.

Di sebuah restoran Italia, saya memesan Spaghetti ukuran besar (laper bangettt…, suerrr!!!…). T memesan…. (hmmmmm, apa yah, waduhhh…lupa *garuk2x kepala* Saya tidak sempat memperhatikan situasi sekitar, termasuk T. Sorry, dear :D)

Jam 14.10 siang: Kenyang, Spaghetti yang disajikan sangat lezat dan lebih dari cukup untuk mengganjal perut. Setelah urusan ‘administrasi’ antara T dan pihak kasir selesai, kami berniat untuk menuju kapal. Tapiii, lohhhh kokkkk, ada asap hitam membumbung dari kapal, disusul bunyi peluit yang membahana…What’s upppp???…

Karena kuatir dan sedikit panik, kami pun bergegas meninggalkan restoran, sambil berlari ke arah pintu masuk kapal di sebuah anjungan. Melewati jembatan, menaiki tangga, turun tangga, melewati hall panjang…dan…sepi…Tak ada lagi orang berlalu-lalang, semua nampak lenggang, juga di counter depan untuk check-in. Kosong.

Menyadari yang sedang terjadi, T menarik tangan saya untuk melompati rantai pembatas dan berlari ke arah lorong menuju pintu masuk kapal. Di tengah lorong, seorang pria setengah baya berseragam seperti staff kapal mencoba menghentikan: ” Brother… brother… it is useless, the ship is leaving now. You have to come back!!!…”

Antara nekat dan ingin memastikan sendiri serta sedikit berharap, kami terus berlari hingga di ujung lorong dan melihat kapal sedikit demi sedikit meninggalkan pelabuhan. Saya hanya bisa menjerit dalam hati: ” Waiiiittttt!!!!… Waiiiitttttt….for meeeee….!!!!” Ingin rasanya terjun ke air dan berenang ke arah kapal yang belum terlalu jauh itu.

Terlintas kemungkinan menumpang kapal kecil hingga ke arah kapal dan memanjat naik. Teringat juga tas, koper dan segala isinya yang masih ada di atas kapal. Kami nyaris tak memiliki apapun…

Setelah tertegun beberapa saat, dengan lunglai, saya dan T berjalan kembali ke arah counter check-in. Masih sepi. Nampak pria paruh baya yang mencoba memperingati kami berdiri di salah satu sudut. Ia berkata sesuatu pada T, yang tidak terlalu saya dengar dengan jelas. Nyaris tak ada yang bisa dilakukan, tak ada counter informasi dan sejenisnya yang masih buka.

Di balik kaca dan gorden di salah satu ruangan, saya melihat sekelebat bayangan manusia. Aha! Ini kesempatan penting, karena ruang itu adalah kantor resmi perusahaan kapal yang seharusnya kami tumpangi untuk kembali. Di pintu yang nyaris tertutup, T menyelinap masuk, diikuti saya yang masih ragu2x.

Setelah menjelaskan apa yang terjadi, T mencoba bernegosiasi. Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket kembali gratis untuk waktu yang sama keesokan harinya, dengan kapal ‘saudara’ yang masih di bawah naungan perusahaan itu. Staff yang baik hati juga menawarkan untuk menghubungi kapal, menelpon bos T untuk mengurus barang2x kami dan menginformasikan situasi yang terjadi. Sebelum pergi, staff perempuan dari Jerman yang lancar berbahasa Norwegia mengingatkan agar kami tidak lagi terlambat. Ternyata, kapal pergi meninggalkan pelabuhan pukul 14.15, dan semua penumpang yang lama harus sudah kembali ke kapal jam 13.15.

Dengan sedikit lega, saya dan T menuju pintu keluar tanpa arah yang jelas. Tak jauh dari bibir pantai, nampak beberapa orang sedang memancing ikan. Saya mengusulkan untuk duduk sesaat, beristirahat, mencoba mencerna dan menganalisa situasi serta menyusun rencana dan strategi ke depan (serius sekaleee…)

Analisa situasi: Saya telah salah mendengar pengumuman, jam 14.15 adalah waktu kapal meninggalkan pelabuhan, bukan waktu penumpang harus kembali ke kapal. T juga merasa turut andil, karena ia tidak melakukan ‘cross-check’ tentang waktu ini. Logistik: Kami tidak mempunyai apapun, selain jaket yang melekat di badan, HP, dompet dan paspor (untung sempat terbawa). Yang harus dilakukan: memastikan semua barang kami di atas kapal aman, mencari tempat bermalam, mencari ide untuk mengisi waktu hingga esok hari. Blessing in disguise: ada waktu ekstra untuk melihat2x kota Kiel di malam hari 🙂

Baru kali inilah saya berada di luar negeri hanya dengan baju seadanya yang melekat di badan. Untung masih ada T yang juga senasib-sepenanggungan. Setidaknya, saya tidak seorang diri ‘mengelandang’ di Jerman, di kota, dengan orang dan bahasa yang sungguh sangat asing.

Akhirnya, kami menemukan tempat bermalam yang tak jauh dari pelabuhan dan pusat kota. Waktu yang ada dimanfaatkan untuk kembali berkeliling kota seperti hari sebelumnya. Saya tidak terlalu bersemangat untuk mengambil foto2x pada waktu itu. Siang harinya, pada waktu yang ditentukan kami menuju kapal 45 menit lebih awal :). Lega rasanya, bisa kembali berada di kapal dan memastikan bahwa kami akan kembali ke Oslo. Setidaknya, kami mendapat kesempatan untuk ‘studi banding’ antara kapal dari Kiel menuju Oslo dengan kapal yang membawa kami dari Oslo menuju Kiel yang serupa namun tak sama. Pemandangan pun nampak lebih indah, terutama saat senja hari melewati jembatan di perbatasan Swedia.

Di tengah malam, terdengar suara berdentam-dentam dari lantai di atas yang sangat menganggu. Usut punya usut…lantai di atas kami adalah lokasi diskotik dan night club. Pantas saja, kami diberi kamar gratisan di sini, mungkin tidak banyak orang yang mau tinggal di lantai yang berisik. Setelah menyampaikan protes ke pihak manajemen kapal, entah ilmu apa yang T gunakan saat bernegosiasi, kami bisa mendapat upgrade dari kamar biasa ke kamar suite. Well, not bad,… Good job, my dear! 😀

But, the misery is not over yet…
Setibanya di Oslo, kami harus langsung menuju kantor T, karena semua tas dan barang2x kami di-drop di sana. Hari itu semua staff sudah masuk kantor. Tak urung, kami pun menjadi bahan olok2x dan candaan. T mengingatkan saya sebelumnya untuk siap mental, karena peristiwa konyol ini akan selalu diungkit, setidaknya selama satu tahun dalam acara kumpul2x bersama rekan kantor, pesta musim panas, acara natal bersama dan paskah tahun depan…Hiks ….hiks….*gigit jari*

Lesson learned:
-Memperhatikan waktu itu wajib hukumnya
-Dalam situasi darurat, panik boleh tapi jangan kehilangan akal sehat
-Untuk jaga2x, bawa paspor /atau foto kopinya dan barang2x berharga dengan hati2x
-Senyum ramah dan wajah ‘innocence’ adalah senjata ampuh dalam bernegosiasi, khususnya jika kita ada di pihak yang butuh 🙂
-Lebih baik memiliki seorang ‘partner in crime’ daripada seorang diri saja. Ini penting untuk distribusi resiko 🙂
-Setiap kekonyolan yang diketahui publik pasti akan jadi bahan guyonan, siap mental itu perlu 😀
-Tetap berpikir positif, setiap kejadian tak mengenakkan pasti ada hikmahnya. Kalau belum tahu juga apa hikmah di balik peristiwa itu, ayoooo…coba cari tahu lagi 😀

Disclaimer: Foto2x di atas diambil di Museum Seni Kiel, koleksi pribadi dan dari website resmi Color Line di http://www.colorline.com/