Setelah sekian lama, gegar budaya yang satu ini masih juga saya rasakan.
Bagi mereka yang tinggal atau pernah berkunjung ke Oslo pasti tahu betapa tingginya biaya hidup di sini. Makan di restoran misalnya, porsi untuk satu makanan yang layak untuk dimakan, seperti gambar di atas (ikan cod dengan sedikit sayuran) berkisar 250 NOK (sekitar 370 ribu rupiah). Mencari makanan di bawah 100 NOK (sekitar 150 ribu rupiah) di Oslo tidaklah mudah. Karena saya tidak terlalu suka Mac Donalds maka kedai kebab, restoran India di kawasan kota tua atau bilik restoran Asia mungil di tengah taman kota biasanya menjadi pilihan untuk mengisi perut.
Hampir sebagian besar kolega di kantor selalu membawa bekal makan siang dari rumah. Dan inilah yang sering menjadi beban pemikiran di kepala: apa yang harus dibawa sebagai bekal besok hari?
Alhasil makan siang saya mengalami beberapa fase, yakni:
1. Fase pencarian dan eksplorasi
Fase ini dimulai dengan masa observasi (pengamatan) dan studi komparatif (studi banding) apa yang kawan2x lain makan di siang hari. Tujuannya adalah mempelajari budaya makan siang setempat, makanan apa yang biasanya dibawa, mana yang praktis, lumayan enak namun ramah di kantong.
Foto: Roti kering, ikan mackarel dan tomat
Foto: Roti, pate (hati sapi) dan ketimun
Foto: Roti gandum dilapisi ikan salmon, dilapisi alpukat dan sosis domba,dilapisi selai berry.
Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa: bahan dasar yang selalu ada dalam makan siang ala kolega yang mayoritas penduduk lokal adalah:
– roti (mulai dari roti gandum berwarna kecoklatan, roti pipih, roti kering dsb)
– sayuran pelengkap: tomat, ketimun, selai buah2xan, alpukat
– sumber protein hewani seperti: ikan, sosis daging, pate (hati yang dihancurkan), telur rebus
– lain2x untuk dioleskan seperti: mustard, mentega dan mayones.
Hal penting yang dipetik dari fase ini adalah bahwa:
SAYA BUTUH NASIIIII!!!!!!!!….. đ Continue reading