Monthly Archives: September 2012

Kehidupan Asmara Di sini dan Di sana

Kehidupan asmara atau percintaan di Norwegia dianggap sebagai salah satu privacy yang hanya dibicarakan oleh orang yang sangat dipercaya. Topik asmara secara umum pun tidak pernah muncul saat kami duduk2x bersama dan ngobrol di jam makan siang atau break. Sesekali topik ini baru muncul ketika memberikan selamat terhadap seorang kolega yang baru saja bertunangan atau meresmikan hubungan. That’s all.….

Biasanya informasi seperti ini tanpa sengaja saya ketahui saat terjadi pembicaraan empat mata di luar urusan pekerjaan misalnya berita kalau si A hendak bercerai, si B baru punya pacar baru, si C baru saja putus dll.

Hasil mapping alias pemetaan kehidupan asmara di kantor (nggak-penting-banget.com…yeahh, I know :D) menunjukkan paling tidak ada sebelas (11) orang single yang terdiri dari 9 perempuan dan 2 laki2x.

Dilihat dari jumlah total staff di institusi kami yang 35 orang maka angka single di kantor bisa dibilang cukup tinggi yakni sekitar 30% (wedewwww...). Meski bukan urusan saya, hal ini menimbulkan tanda tanya: —–MENGAPA????—–

Kawan2x yang masih single di kantor tadi secara umum masih muda, ganteng, cantik, cerdas, mapan, sehat…dan ketika ada yang nekat bertanya (biasanya non-native): “Mengapa masih single?” mereka hanya menjawab singkat: “belum menemukan yang cocok”.

Di sini tekanan sosial bagi mereka yang belum menikah hampir tidak ada. Semua seakan memahami bahwa ini adalah hak asasi setiap orang yang tidak boleh diintervensi orang lain. Pertanyaan “Kapan menikah?” akan dianggap aneh dan berlebihan. Usia 30 tahun-an masih dianggap muda dan biasanya di usia 35-36 tahun barulah perkawinan menjadi satu hal yang dipikirkan.Tidak sedikit yang menganggap bahwa perkawinan bukan sesuatu yang penting dan hanyalah dibutuhkan karena sepucuk kertas untuk formalitas. Cinta menurut kelompok ini tidak mengenal batasan institusi atau legalitas yang duniawi sifatnya.

Mencari pasangan serasi sendiri bukan hal yang mudah dan kesesuaian atau compatibility adalah salah satu faktor penting. Karena secara umum penduduk Norwegia mencintai alam maka kriteria menyukai aktivitas di alam terbuka biasanya cukup menjadi salah satu tolok ukuran. Kalau kita berjalan di tempat publik di sini maka nyaris tidak ditemui orang Norwegia yang mengalami obesitas atau kelebihan berat badan. Sejak kecil di taman kanak2x biasanya aktivitas outdoor sudah diperkenalkan. Beberapa kali seminggu anak2x di TK akan dibawa hiking ke puncak bukit kecil, ke taman, menikmati pemandangan di tepi fjord dll. Saat musim liburan puncak2x gunung di luar kota yang populer biasanya dipenuhi manusia segala usia yang ingin hiking atau mendaki.

Memikirkan hal ini tak urung membuat saya teringat sejumlah kawan yang masih lajang di Jakarta di usia mereka yang menurut banyak orang Indonesia tidak muda lagi. Semua kawan yang saya kenal tersebut memiliki kesamaan: berpendidikan tinggi (tamatan S2 dalam dan LN), memiliki karir yang bagus, mandiri secara finansial dan berkepribadian kuat…dan semua perempuan.

Kesimpulannya, kalau dilihat lebih lanjut lagi, kawan2x yang masih single di Norwegia dan di Indonesia, terlepas dari jenis kelaminnya memiliki kesamaan:
1. Pendidikan tinggi
2. Mandiri
3. Kepribadian kuat

Yang membedakan adalah persepsi tentang pernikahan atau menemukan pasangan. Bagi orang sini mungkin menikah dan berpasangan BUKAN suatu keharusan dan menjadi single adalah sebuah pilihan sadar tanpa tekanan… Sementara di Indonesia tekanan dari lingkungan keluarga dan sosial untuk berpasangan masih cukup besar yang tak jarang membuat yang bersangkutan capek ditanya ‘kapan menikah?’.

Faktor pendidikan tinggi di sini menjadi nilai tambah karena yang bersangkutan akan menjadi orang yang enak diajak berdiskusi, sementara di Indonesia pandangan patriarkal yang dominan masih sering muncul bahwa perempuan tidak boleh ‘lebih’ dari suami membuat perempuan berpendidikan tinggi dianggap sebagai ‘ancaman’ dan membuat laki2x mundur terlebih dahulu. Apakah memang demikian? Entahlah. Sepertinya prioritas dan pilihan individu serta setting sosial tempat kita berinteraksi juga memegang peranan yang tidak sedikit.

Buat saya lajang atau menikah adalah hak yang harus dihormati. Apapun statusnya saya selalu mendoakan agar kawan2x tersebut bahagia dan bisa menjadi dirinya sendiri… 🙂

Tabik.

Gegar Budaya – Di Sisi Yang Lain

Gegar budaya (culture shock) bisa dialami oleh setiap orang saat berada di lokasi atau lingkungan yang baru. Perbedaan adat-kebiasaan, makanan, cuaca adalah beberapa contoh yang bisa memicu kejutan2x budaya tersebut.

Sejumlah kolega yang berasal dari negara berbeda pernah curhat ke saya mengenai kejutan budaya yang mereka alami saat berada dan berinteraksi dengan orang2x di Indonesia, mau tahu apa saja?

1. Senyum Penuh Misteri
Kita sering mendengar bahwa Indonesia adalah bangsa dengan penduduk yang suka tersenyum, terbuka terhadap tamu dan ramah-tamah. Namun, senyum orang Indonesia ternyata sering membuat sejumlah teman asing bingung menafsirkannya. Saat seorang petinggi militer marah pada seorang kawan dari Norwegia misalnya si petinggi tadi justeru tersenyum dengan wajah marah dan kumis tebal yang naik-turun (hmmm…kalau begini saya yang orang Indonesia juga ikutan bingung…apalagi si kawan dari Norwegia tadi ya?.)

Kali lain sejumlah kawan bertanya arti senyum dari seorang tersangka teroris atau koruptor yang tertangkap dan difoto oleh wartawan yang bisa ditafsirkan bermacam2x…. Mengapa dia tersenyum setelah membunuh ratusan orang atau mengkorupsi uang negara milyaran rupiah? Apakah dia senang karena sudah ditangkap? Apakah dia tidak menyesali perbuatannya?

Alhasil saya hanya bisa tersenyum kecut ketika seorang kawan yang sudah lama bergelut dengan Indonesia hanya berkomentar pendek sambil mencoba menjelaskan bahwa: “Orang Indonesia memiliki lebih dari 500 macam senyum yang bisa diartikan berbeda2x… Mulai dari senyuman tulus sampai senyum penuh misteri… “

HMMMM…Apa betul begitu?….Entahlah….Jangan2x memang iya… *sambil garuk2x kepala*

2. Gelak-tawa dan canda senantiasa
Buat saya berbahasa Norsk seharian di tempat kerja non-stop dapat membuat otak nyaris ‘hang’ jika tidak diselingi oleh jeda berbahasa Inggris yang lebih natural dibandingkan norsk. Seminggu tanpa berbahasa Indonesia sudah bisa membuat lidah merindukan bahasa ibu ini. Bertemu kawan sebangsa dan setanah air, bersenda-gurau bercanda dan tertawa bersama adalah oase yang dirindukan jika rasa kangen terhadap tanah air muncul.

Dan…. di sinilah kebingungan bisa muncul….
Dalam suatu kumpul2x pelajar Indonesia di asrama kampus yang dipenuhi canda serta gelak tawa tiada henti akibat saling lempar ledekan tiba2x seorang pelajar Russia muncul di pintu sambil cengengesan dan bertanya: “Boleh nggak saya ikut mencicipi ‘barang’ yang kalian pakai?…” Pertanyaan tadi membuat orang2x Indonesia dalam ruangan terdiam dan berpikir, ‘barang’apa yang dimaksud si pelajar Russia tadi?

Melihat kebingungan yang ada si pelajar Russia menjelaskan lebih lanjut: “Iya….itu loh, kalian make ganja ya…atau alkohol kali….kok ketawa2x mulu non-stop gitu…. saya penasaran kalian make apa sih kok bisa hepi kayak begini….” Ooooooo….. ternyata gelak tawa warga Indonesia saat kumpul2x itu disangka akibat pengaruh obat2xan atau alkohol… Seorang teman langsung menjelaskan: “Wah, maaf….kita pelajar dan orang baik2x…. nggak make begituan… dan kita nggak butuh juga obat2xan ato alkohol buat merasa hepi….ketawa kita murni dari hasil becandaan dan ledekan sesama temen… well, memang bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mudah tersenyum dan tertawa…. “

Jawaban tadi justeru membuat si pelajar Russia garuk2x kepala karena sepengetahuannya orang akan menjadi lebih mudah tertawa jika sudah mabuk…ternyata gelak tawa orang Indonesia bisa muncul hanya dari acara kumpul2x dengan minuman dan makanan seadanya….as simple as that… Yeppp….. entah bagaimana menjelaskan konsep ‘mangan ora mangan asal ngumpul’ (makan nggak makan asal kumpul) ke kawan tadi dalam versi yang lebih mudah dimengerti….

3.Dilarang makan sambil bicara ?
Sesi makan bersama di sejumlah negara Eropa, termasuk di Norwegia biasanya bisa berlangsung lebih dari 1 jam. Waktu makan malam misalnya menjadi lebih panjang (bisa 2 jam lebih) karena pembagian waktu untuk makanan pembuka, makanan utama, makanan penutup, teh dan kopi serta snacks yang berurutan. Saat makan obrolan bisa berlangsung non-stop dari A-Z, mulai dari topik ringan hingga topik berat, mulai dari hal yang bersifat personal (pekerjaan, studi) sampai perkembangan situasi politik terakhir.

Sementara di Indonesia, banyak keluarga yang melarang anak berbicara saat sedang makan karena takut tersedak, makanan berantakan dll. Akibatnya, tak jarang sesi makan berlangsung sunyi saat masing2x sibuk berkonsentrasi dengan makanannya dan hanya berbicara seperlunya.

Seorang kawan Norwegia mengalami kejutan budaya saat makan bersama di Indonesia dalam salah satu kunjungan lapangan. Kensunyian di meja makan membuatnya bertanya2x apakah ia harus berinisiatif memulai percakapan? Apakah ada sesuatu yang salah? Mengapa semua diam? Sesi makan berlangsung singkat, hanya sekitar 15-20 menit kemudian melanjutkan perjalanan baginya sangat aneh dan berbeda dengan sesi makan bersama di negaranya. Untunglah ia bisa mengerti setelah saya coba jelaskan bahwa selain kendala bahasa, rasa enggan untuk memulai percakapan, mungkin’instruksi’ dari orang tua yang kami dapat saat masih kecil untuk tidak banyak ‘bertingkah’ saat makan nampaknya masih cukup melekat hingga dewasa di hati cukup banyak orang.

bersambung dalam postingan berikutnya…