Monthly Archives: April 2010

Sh*t Happens…

Kejadian buruk bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja…kadang tanpa alasan yang jelas (memang sedang sial atau apes) atau karena keteledoran. Berikut adalah pengalaman ‘shit happens’ selama travel yang saya rekam.

1. Ketinggalan pesawat karena ketiduran atau terlalu asik melakukan aktivitas lain
Maja, rekan dari Serbia ketinggalan pesawat yang akan membawanya menuju Oslo untuk mengikuti perkuliahan karena keasikan merokok saat menunggu pesawat. Sialnya, ia harus menunggu pesawat lain yang baru datang kesesokan hari. Usut punya usut, kejadian serupa telah dialami Maja untuk ketiga atau keempat kalinya! Weleh…weleh….

Lesson-learned: Perhatikan waktu. Print-out ticket sebelum travel itu penting sebagai pegangan (jika memakai e-ticket, nomor reservasi tidak boleh hilang). Mengingat NOMOR/KODE PESAWAT tidak kalah pentingnya (adik T pernah dua kali ketinggalan pesawat karena salah lihat nomor penerbangan)

2. Tidak mendengarkan pengumuman dengan seksama
Harga yang harus dibayar dari keteledoran ini bisa sangat mahal. Saya dan T nyaris jadi gelandangan di Kiel (Jerman) saat ketinggalan kapal menuju Oslo dengan hanya berbekal jaket di badan. Waktu itu, kami tidak mengkonfirmasi pengumuman yang kurang jelas tentang waktu keberangkatan kapal.

Lesson-learned: Jangan ragu mengkonfirmasi informasi yang kurang jelas. Resiko mis-informasi lebih besar di non-english speaking countries dan negara dengan perbedaan waktu dari negara asal. Continue reading

“Kok kamu gosong sih?…”

Sejumlah pengalaman tak mengenakkan yang terkait dengan perbedaan fisik (baca: warna kulit) di sejumlah negara tempat berdiam sempat membuat saya ‘terjendut2x’ sebelum akhirnya bisa menerima semua dengan lapang dada. Proses penerimaan diri tadi saya anggap sebagai bagian dari pembelajaran dan pendewasaaan diri.

Puncaknya terjadi saat saya sempat menuduh warna kulit yang gelap ini sebagai ‘biang kerok’ penolakan menyakitkan sebelum mengunjungi London. Beberapa kejadian kecil di pos imigrasi bandara Stansted dan bandara di Oslo saat 2 petugas di luar sempat menstop dan mengajukan sejumlah pertanyaan membuat saya begitu sensitif … (karena waktu itu sedang PMS, semua jadi dramatis...)

Kala itu, di dalam BUS menuju Oslo saya menangis dengan diam2x dan ‘protes’ kepada Tuhan (ini sepertinya karena PMS juga deh…jadi rada sensitif) tentang warna kulit yang gelap yang kerap menjadi sumber ‘masalah’ ini. Kilas-balik sejumlah kejadian tak mengenakkan beberapa tahun sebelumnya saat studi di Den Haag pun muncul di kepala. Continue reading

“Saya bukan siapa-siapa…”


Dalam suatu kesempatan saya bertemu dengan Veril (bukan nama sebenarnya), imigran dari Myanmar yang telah 4 tahun tinggal di Norwegia, menikah dengan pria lokal dan memiliki anak balita. Entah bagaimana, di tengah percakapan tercetus kalimat dari Veril yang menyentak: “Saya BENCI tinggal di sini!!!… Saya BENCI Norwegia!!!” 

Pertanyaan saya:  “WHY??? …” Dijawab Veril  dengan lantang: ” Di negara saya…saya ‘SOMEBODY’…. di sini saya ‘NOBODY’… SAYA BUKAN SIAPA-SIAPA…”

“…seperti deja -vu rasanya…”

Ada nada sedih, kecewa, marah di balik ucapan perempuan berumur pertengahan 30-tahunan itu. Saya terdiam membisu. Seperti deja-vu rasanya… Beberapa tahun lalu, saat pertama kali tiba dan memutuskan untuk menetap di Oslo, saya pun pernah merasakan hal yang sama. Continue reading